Canda tawa
anak-anak di sekitar terdengar riang, namun terdengar menggema dan melambat di
telingaku, gerakan mereka, seolah-olah aku menonton film dengan gerakan slow motion. Tapi mendadak inderaku
kembali normal begitu aku mendengar dering bel.
“Baik,
anak-anak. Ingat ya, kerjakan PRnya di rumah kalian...” Seorang perempuan
berjilbab putih tersenyum pada kami sambil merapikan buku-bukunya, kemudian
diakhiri dengan salam.
Perlahan
semua anak-anak mulai keluar dari kelas, mereka menyebar ke segala arah hingga
menyisakan kesunyian di ruangan yang kini hanya aku seorang diri.
“Kamu nggak
pulang, Alena?”
Aku
mendongak, Ani, perempuan bertubuh kurus dengan kulit cokelat, rambut kemerahan
karena sinar matahari, serta matanya yang agak sayu itu kini berdiri di
hadapanku sambil memegangi tangan ranselnya.
“Nanti.”
“Mau main?
Yang lain mau main taplak gunung.”
Aku
mengangguk, lalu berjalan sambil menunduk seperti biasa.
Ketika kami
berjalan ke lapangan, beberapa anak perempuan sudah berkumpul dan memulai
permainannya.
“Kita ikut
dong!” Ani menarik tanganku “Nih, Alena juga mau ikutan.”
Fani adalah
salah satu teman sekelasku, dia termasuk anak yang berpengaruh di kelas karena
semua anak perempuan berteman dan dekat dengannya terkecuali aku, dia bagaikan
ketua di kelompok perempuan. Rambut hitam eboninya menjuntai panjang, kulitnya
kuning langsat dan wajahnya cantik, dia salah satu anak kaya yang bersekolah di
sekolahan ini, mungkin dia punya aura yang hebat untuk menarik anak-anak agar berteman
dengannya.
Permainan
berlangsung seperti biasa, tapi itu terjadi sebelum aku bertingkah aneh lagi—menurut
mereka.
“Jangan
lompat ke angka 4!” Teriakku, Fani yang hendak melompatpun berhenti mendadak
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Nanti kamu
menginjak perempuan yang tertembak di situ!”
Sontak semua
perempuan berteriak ketakutan dan berlindung di belakangku, kecuali Fani, dia
memarahiku karena meenganggap aku mencari sensasi saja. Akhirnya ia mengusirku
untuk tidak mengikuti permainan ini. Sempat terjadi kegaduhan sampai akhirnya
guru kami datang untuk memeriksa apa yang terjadi.
“Bu! Dia
nakut-nakutin kita lagi!” Si ketua mengadu.
Guru itu
berusaha menenangkan mereka, kemudian mendekatiku hendak bicara sesuatu, tetapi
aku memotongnya terlebih dulu.
“Maaf bu,
lebih baik aku pulang,” Kataku, dengan bahasa baku yang biasa kuucapkan, aku
membalik badan, baru dua langkah kulalui, tiba-tiba aku berhenti dan berkata
“Fani...” Kataku sebelum pergi “Di langkah ke lima belas dari sekolah, bisa
kamu menggeser tubuhmu 5 langkah panjang? Aku takut kamu mati.”
Sontak saja
Fani berteriak, gurupun menasehatiku utuk menjaga kata-kata, mungkin ia mengira
aku menyumpahinya agar Fani cepat mati, tapi... Aku punya firasat buruk tentang
itu.
Akupun
pulang sendirian ke rumah, dan keesokan harinya Fani tidak masuk, dia masuk
rumah sakit karena kecelakaan, aku tidak tahu pasti penyebabnya apa, tapi ia
masih beruntung karena tidak mati seperti yang kukira.
Semenjak
peristiwa itu, semua anak-anakpun memanggilku dukun. Mungkin kalian akan
tertawa, tapi aku membenci julukan itu. Aku bukan dukun, aku hanya
memberitahukan sesuatu yang tidak baik. Aku sendiri tidak tahu darimana
munculnya perasaan itu
*
Keesokan
harinya aku memperhatikan anak laki-laki yang sedang berkumpul di dekat pohon
mangga ketika pulang sekolah, satu diantara mereka menangkap katak kecil yang
diambil entah dari mana.
“Eh, dukun!
Sini!” Mereka memanggilku, aku menurut saja lalu menghampiri mereka “Kamu tau
gak ini apaan? Hiiii...”
Mereka
menjejalkan katak itu padaku, tapi aku tidak bereaksi apa-apa, wajahku datar
dan tubuhku tak bergeming sedikitpun.
“Itu cuma
katak.”
“kamu takut,
kan sama katak ini, nih! Hiiiii...”
“Hentikan,
aku bukan orang bodoh...”
Akhirnya
mereka menghentikan itu sambil berdecak kecil lalu kembali bermain dengan
katak. Beberapa diantara mereka ada yang menyiksa katak itu dengan cara menekan
perutnya, lalu menarik-narik kakiknya, dan menusuk-nusuk bagian tubuh lainnya
dengan ranting kayu runcing
“Kalian tau?
Melihat darah katak yang keluar mengingatkanku pada salah satu kenalanku.”
Mereka
berhenti sejenak karena perhatiannya teralihkan oleh ceritaku “ceritain dong,
kenapa emang??”
“Dia seorang
lelaki pribumi, tubuhnya penuh luka tusuk, lidahnya dipotong, matanya lepas
karena dicongkel orang, kuku-kukunya lepas karena ditarik. Kalian tahu apa
motif orang itu mati?”
“Motif itu
apa? Motif batik? Bulet-bulet?”
“Semacam
itu. Dan motif dia mati adalah ‘iseng’ seperti kalian.”
“iseng??”
“Orang mati
menjadi hantu, ia mendekatiku dan
berkata ‘mereka yang menyiksaku akan mati’ Ya, akhirnya hantu itu melakukan hal
yang sama. Hantu itu mencari tersangkanya, dan ketika dia menemukannya, dia
mengikat si tersangka, lalu ia menarik kuku-kuku tersangka itu sampai berdarah,
menyiram si tersangka dengan air keras dan air panas, membakarnya hidup-hidup,
kemudian ia menguliti si tersangka, tidak hanya itu, ia memotong tiap bagian
tubuh si tersangka dengan perlahan, namun pasti... Ia menyeringai melihat
simbahan darah segar yang menetes, dan juga melihat gumpalan daging yang sudah
ia potong, tak lupa dia mencongkel kedua mata tersangka dan ditekan dengan
tangannya hingga hancur... Lalu...”
“Waaaaaaaaaaaaaa!!”
Mereka berteriak dan melarikan diri
“mamahhhhh!! Papahhhhhhhhh!! Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”
Aku
tersenyum dan bergumam “bodoh.”
*
Berpotong-potong
gambar memenuhi penglihatanku, bagai melihat foto-foto raksasa dalam ruangan
gelap. Foto-foto yang tak pernah terekam di memori ini, foto seorang perempuan
berambut panjang yang tidak kukenali.
Mendadak,
tempat di mana aku berpijak menjadi lembek bagai tanah basah, akupun terserap
olehnya. Aku berteriak sekencang mungkin agar ada seseorang yang menolongku,
tapi nihil. Alhasil aku terhisap dan tiba-tiba saja berada di kamar mandi
rumahku.
Aku sedang
berkaca sambil menggosok gigi, kupikir semuanya kembali normal, tapi mendadak
semuanya berubah menjadi hitam-putih seperti efek kamera, dan ketika aku
menatap kaca, dari kejauhan sana di belakangku, ada sesuatu yang melayang. Lalu
aku menoleh, menyadari sesuatu yang melayang itu semakin dekat dan semakin
cepat, akupun memejamkan mata.
Ketika aku
membuka kelopak mataku, tepat di depanku ada wajah perempuan berlumuran darah
sambil tersenyum, aku berteriak karenanya, terlebih lagi ketika melihat bola
mata sebelah kanannya yang lebih menonjol seolah ingin keluar dari tempatnya.
Siapa perempuan itu?
Ia tidak
bicara dan menggerakan kepalanya ke arah kiri seolah memintaku menoleh, aku
melihat sebuah tulisan bernama ‘Nia’ di tembok, seperti benda tajam yang
digoreskan ke tembok membentuk huruf-huruf.
“Aaaahhh!!”
Berubah.
Perempuan itu menghilang, dan kini aku berada di kamarku sendiri, lengkap
dengan piyama dan tempat tidur. Aku bermipi?
Mendadak
suasana kamar terasa mencekam dan dingin, perasaan yang berbeda dari
sebelumnya. Kamarku terasa lebih luas, lebih lembab, dan lebih wangi.
Tidak, tidak
benar. Aku tahu itu... Aku memang bermimpi, lalu kalau aku bermimpi, sekarang
siapa perempuan di hadapanku? Kenapa bola mata bagian kanannya seperti mau
keluar? Lalu kenapa ia menyeringai padaku?
“Nia...”
Katanya, yang menurutku ia berbisik atau memang suaranya yang seperti itu?
*