Laman

Kamis, 27 Desember 2012

iseng2 posting sebagian cerita buat ngisi2 aja, hihi... belom punnya judul lagi, haha


Canda tawa anak-anak di sekitar terdengar riang, namun terdengar menggema dan melambat di telingaku, gerakan mereka, seolah-olah aku menonton film dengan gerakan slow motion. Tapi mendadak inderaku kembali normal begitu aku mendengar dering bel.

“Baik, anak-anak. Ingat ya, kerjakan PRnya di rumah kalian...” Seorang perempuan berjilbab putih tersenyum pada kami sambil merapikan buku-bukunya, kemudian diakhiri dengan salam.

Perlahan semua anak-anak mulai keluar dari kelas, mereka menyebar ke segala arah hingga menyisakan kesunyian di ruangan yang kini hanya aku seorang diri.

“Kamu nggak pulang, Alena?”

Aku mendongak, Ani, perempuan bertubuh kurus dengan kulit cokelat, rambut kemerahan karena sinar matahari, serta matanya yang agak sayu itu kini berdiri di hadapanku sambil memegangi tangan ranselnya.

“Nanti.”

“Mau main? Yang lain mau main taplak gunung.”

Aku mengangguk, lalu berjalan sambil menunduk seperti biasa.

Ketika kami berjalan ke lapangan, beberapa anak perempuan sudah berkumpul dan memulai permainannya.

“Kita ikut dong!” Ani menarik tanganku “Nih, Alena juga mau ikutan.”

Fani adalah salah satu teman sekelasku, dia termasuk anak yang berpengaruh di kelas karena semua anak perempuan berteman dan dekat dengannya terkecuali aku, dia bagaikan ketua di kelompok perempuan. Rambut hitam eboninya menjuntai panjang, kulitnya kuning langsat dan wajahnya cantik, dia salah satu anak kaya yang bersekolah di sekolahan ini, mungkin dia punya aura yang hebat untuk menarik anak-anak agar berteman dengannya.

Permainan berlangsung seperti biasa, tapi itu terjadi sebelum aku bertingkah aneh lagi—menurut mereka.

“Jangan lompat ke angka 4!” Teriakku, Fani yang hendak melompatpun berhenti mendadak “Jangan!”

“Kenapa?”

“Nanti kamu menginjak perempuan yang tertembak di situ!”

Sontak semua perempuan berteriak ketakutan dan berlindung di belakangku, kecuali Fani, dia memarahiku karena meenganggap aku mencari sensasi saja. Akhirnya ia mengusirku untuk tidak mengikuti permainan ini. Sempat terjadi kegaduhan sampai akhirnya guru kami datang untuk memeriksa apa yang terjadi.

“Bu! Dia nakut-nakutin kita lagi!” Si ketua mengadu.

Guru itu berusaha menenangkan mereka, kemudian mendekatiku hendak bicara sesuatu, tetapi aku memotongnya terlebih dulu.

“Maaf bu, lebih baik aku pulang,” Kataku, dengan bahasa baku yang biasa kuucapkan, aku membalik badan, baru dua langkah kulalui, tiba-tiba aku berhenti dan berkata “Fani...” Kataku sebelum pergi “Di langkah ke lima belas dari sekolah, bisa kamu menggeser tubuhmu 5 langkah panjang? Aku takut kamu mati.”

Sontak saja Fani berteriak, gurupun menasehatiku utuk menjaga kata-kata, mungkin ia mengira aku menyumpahinya agar Fani cepat mati, tapi... Aku punya firasat buruk tentang itu.

Akupun pulang sendirian ke rumah, dan keesokan harinya Fani tidak masuk, dia masuk rumah sakit karena kecelakaan, aku tidak tahu pasti penyebabnya apa, tapi ia masih beruntung karena tidak mati seperti yang kukira.

Semenjak peristiwa itu, semua anak-anakpun memanggilku dukun. Mungkin kalian akan tertawa, tapi aku membenci julukan itu. Aku bukan dukun, aku hanya memberitahukan sesuatu yang tidak baik. Aku sendiri tidak tahu darimana munculnya perasaan itu

*

Keesokan harinya aku memperhatikan anak laki-laki yang sedang berkumpul di dekat pohon mangga ketika pulang sekolah, satu diantara mereka menangkap katak kecil yang diambil entah dari mana.

“Eh, dukun! Sini!” Mereka memanggilku, aku menurut saja lalu menghampiri mereka “Kamu tau gak ini apaan? Hiiii...”

Mereka menjejalkan katak itu padaku, tapi aku tidak bereaksi apa-apa, wajahku datar dan tubuhku tak bergeming sedikitpun.

“Itu cuma katak.”

“kamu takut, kan sama katak ini, nih! Hiiiii...”

“Hentikan, aku bukan orang bodoh...”

Akhirnya mereka menghentikan itu sambil berdecak kecil lalu kembali bermain dengan katak. Beberapa diantara mereka ada yang menyiksa katak itu dengan cara menekan perutnya, lalu menarik-narik kakiknya, dan menusuk-nusuk bagian tubuh lainnya dengan ranting kayu runcing

“Kalian tau? Melihat darah katak yang keluar mengingatkanku pada salah satu kenalanku.”

Mereka berhenti sejenak karena perhatiannya teralihkan oleh ceritaku “ceritain dong, kenapa emang??”

“Dia seorang lelaki pribumi, tubuhnya penuh luka tusuk, lidahnya dipotong, matanya lepas karena dicongkel orang, kuku-kukunya lepas karena ditarik. Kalian tahu apa motif orang itu mati?”

“Motif itu apa? Motif batik? Bulet-bulet?”

“Semacam itu. Dan motif dia mati adalah ‘iseng’ seperti kalian.”

“iseng??”

“Orang mati menjadi hantu,  ia mendekatiku dan berkata ‘mereka yang menyiksaku akan mati’ Ya, akhirnya hantu itu melakukan hal yang sama. Hantu itu mencari tersangkanya, dan ketika dia menemukannya, dia mengikat si tersangka, lalu ia menarik kuku-kuku tersangka itu sampai berdarah, menyiram si tersangka dengan air keras dan air panas, membakarnya hidup-hidup, kemudian ia menguliti si tersangka, tidak hanya itu, ia memotong tiap bagian tubuh si tersangka dengan perlahan, namun pasti... Ia menyeringai melihat simbahan darah segar yang menetes, dan juga melihat gumpalan daging yang sudah ia potong, tak lupa dia mencongkel kedua mata tersangka dan ditekan dengan tangannya hingga hancur... Lalu...”

“Waaaaaaaaaaaaaa!!” Mereka berteriak  dan melarikan diri “mamahhhhh!! Papahhhhhhhhh!! Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Aku tersenyum dan bergumam “bodoh.”

*


Berpotong-potong gambar memenuhi penglihatanku, bagai melihat foto-foto raksasa dalam ruangan gelap. Foto-foto yang tak pernah terekam di memori ini, foto seorang perempuan berambut panjang yang tidak kukenali.

Mendadak, tempat di mana aku berpijak menjadi lembek bagai tanah basah, akupun terserap olehnya. Aku berteriak sekencang mungkin agar ada seseorang yang menolongku, tapi nihil. Alhasil aku terhisap dan tiba-tiba saja berada di kamar mandi rumahku.

Aku sedang berkaca sambil menggosok gigi, kupikir semuanya kembali normal, tapi mendadak semuanya berubah menjadi hitam-putih seperti efek kamera, dan ketika aku menatap kaca, dari kejauhan sana di belakangku, ada sesuatu yang melayang. Lalu aku menoleh, menyadari sesuatu yang melayang itu semakin dekat dan semakin cepat, akupun memejamkan mata.

Ketika aku membuka kelopak mataku, tepat di depanku ada wajah perempuan berlumuran darah sambil tersenyum, aku berteriak karenanya, terlebih lagi ketika melihat bola mata sebelah kanannya yang lebih menonjol seolah ingin keluar dari tempatnya. Siapa perempuan itu?

Ia tidak bicara dan menggerakan kepalanya ke arah kiri seolah memintaku menoleh, aku melihat sebuah tulisan bernama ‘Nia’ di tembok, seperti benda tajam yang digoreskan ke tembok membentuk huruf-huruf.

“Aaaahhh!!”

Berubah. Perempuan itu menghilang, dan kini aku berada di kamarku sendiri, lengkap dengan piyama dan tempat tidur. Aku bermipi?

Mendadak suasana kamar terasa mencekam dan dingin, perasaan yang berbeda dari sebelumnya. Kamarku terasa lebih luas, lebih lembab, dan lebih wangi.

Tidak, tidak benar. Aku tahu itu... Aku memang bermimpi, lalu kalau aku bermimpi, sekarang siapa perempuan di hadapanku? Kenapa bola mata bagian kanannya seperti mau keluar? Lalu kenapa ia menyeringai padaku?

“Nia...” Katanya, yang menurutku ia berbisik atau memang suaranya yang seperti itu?

*